Contoh Kasus
TPI pertama kali mengudara pada 1 Januari 1991 selama 2 jam dari
pukul 19.00-21.00 WIB. TPI diresmikan Presiden Soeharto pada 23 Januari
1991 di Studio 12 TVRI Senayan, Jakarta. Secara bertahap, TPI mulai
memanjangkan durasi tayangnya. Pada akhir 1991, TPI sudah mengudara
selama 8 jam sehari. TPI didirikan oleh putri sulung Presiden Soeharto,
Siti Hardijanti Rukmana alias Mbak Tutut dan sebagian besar sahamnya
dimiliki oleh PT Cipta Lamtoro Gung Persada. Stasiun televisi yang akrab
dengan masyarakat segmen menengah bawah ini harus diakui tidak memiliki
kinerja keuangan yang baik, terutama ketika TPI kemudian memutuskan
keluar dari naungan TVRI dan beralih menjadi stasiun musik dangdut pada
pertengahan 1990-an. Secara berangsur-angsur kinerja keuangan memburuk,
utang-utang pun kian menumpuk. Pada tahun 2002, posisi utang TPI sudah
mencapai Rp 1,634 triliun, jumlah yang sangat besar untuk periode tahun
itu.
Tahun 1996 TPI yang masih dipegang oleh pemilik lama mengeluarkan Subordinated Bonds (
Sub Bonds) sebesar USD53 juta. Sub Bonds tersebut pertama kali dibeli oleh
Peregrine Fixed Income Ltd
dengan cara membayar USD53 juta pada 26 Desember 1996. Namun esoknya
pada 27 Desember 1996, dengan jumlah yang sama ditransfer kembali ke
rekening Peregrine Fixed Income Ltd. Setelah dilunasi oleh TPI, dokumen
dokumen asli Sub Bond tersebut disimpan oleh pemilik lama yang diduga
diambil secara tidak sah oleh Shadik Wahono (yang saat ini menjabat
sebagai Direktur Utama PT Citra Marga Nusaphala Persada).
Tahun 2004 Diketahui bahwa dokumen-dokumen Sub Bond
yang sudah dilunasi oleh TPI diperjualbelikan dari Filago Ltd kepada
CCGL pada 27 Desember 2004. Ini menandakan bahwa dokumen asli Sub Bonds
yang diambil oleh pemilik lama diperjualbelikan. Transaksi jual beli Sub
Bonds antara Filago Ltd dengan CCGL hanya menggunakan promissory note
sehingga tidak ada proses pembayaran.
Pertengahan 2009 PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia
(TPI) dimohonkan pailit di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat (PN Jakpus) karena dinilai belum membayar surat utang
(obligasi) senilai 53 juta USD kepada PT Crown Capital Global Limited
selaku pemegang hak tagih piutang tersebut dengan perkara
No.31/PAILIT/2009/PN.NIAGA.JKT.PST,
tertanggal 19 Juni 2009. Pemohon, dalam permohonan pailitnya, mengklaim
termohon mempunyai kewajiban yang telah jatuh tempo. Untuk terpenuhinya
unsur-unsur pasal 2 (1) UU
No.37/2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU),
pemohon juga menyertakan kreditur lainnya yakni Asian Venture Finance
Limited dengan tagihan US$10,325 juta, di luar bunga, denda, dan biaya
lainnya.
Menurut PT Crown, TPI memiliki surat utang yang diterbitkan pada
tahun 1996 dengan masa berlaku 10 tahun sehingga sudah jatuh tempo pada
24 Desember 2006, namun tidak kunjung dibayarkan. PT Crown menjadi
kreditur TPI karena telah membeli surat utang tersebut dari pemegang
sebelumnya, yakni PT Fillago Limited pada tahun 2004. Karena sudah
mengantongi hak tagih itu, seharusnya TPI membayar utangnya, sejak jatuh
tempo berakhir.
Dalam penerbitan obligasi tersebut, PT Bhakti Investama menjadi placement agent atau agen penempatan dan
arranger.
Crown mengajukan permohonan pailit dengan membawa bukti bahwa TPI
memiliki kreditur lain, sehingga memenuhi persyaratan mengajukan pailit
kepada Pengadilan Niaga. Utang yang lain, dimiliki oleh Asian Venture
Finance Limited sejak November 1998 sebesar 10,325 juta dollar AS, yang
telah jatuh tempo pada 1999. Karena itu, pihak PT Crown mengajukan
pailit kepada TPI.
14 Oktober 2009 Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat memutuskan PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI)
dalam keadaan pailit dengan segala akibat hukumnya.
21 Oktober 2009
Perusahaan milik Hary Tanoesoedibjo PT Media Nusantara Citra (MNC) ikut
masuk dalam proses kasasi atas putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat yang telah mempailitkan PT Cipta Televisi
Pendidikan Indonesia (TPI) karena takut rugi dalam pembagian harta
pailit.
16 November 2009 PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia
(TPI) melaporkan dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim
Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang telah
memutuskan TPI sebagai perusahaan yang pailit kepada Komisi Yudisial.
12 Desember 2009 Mahkamah Agung (MA) memutuskan untuk
mengabulkan permohonan kasasi atas putusan pailit PT Cipta Televisi
Pendidikan Indonesia (PT CTPI). dalam putusan No. 834 K/
Pdt.Sus/2009, majelis kasasi menyatakan pembuktian kasus pailit TPI tidak sederhana lantaran eksistensi adanya utang masih dalam konflik.
23 Desember 2009 Advokat
Marthen Pongrekun dan Andi F Simangunsong yang telah memberikan
pengumuman di salah satu media massa, mengenai status PT Cipta Televisi
Pendidikan Indonesia (CTPI) yang sudah tidak di bawah kurator,
dilaporkan ke Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi).
Kuasa hukum PT Crown Capital Global Limited Ibrahim Senen menyatakan
seluruh pihak hingga saat ini, termasuk hakim pengawas dan kurator belum
mendapatkan salinan putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan
pailit TPI. Selain itu, PT Crown Capital Global Limited juga melaporkan
PT Media Nusantara Citra (MNC) Tbk kepada Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan (Bapepam dan LK) atas dugaan rekayasa laporan
keuangan anak perusahaannya PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia.
Pasalnya, surat utang dengan hak tagih yang dikeluarkan PT Cipta
Televisi Pendidikan Indonesia (CTPI) senilai 53 juta USD, milik kliennya
itu, telah terungkap dalam rapat verifikasi tertanggal 15 Desember 2009
sebagai milik Santoro Corporation.
25 Maret 2010 Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan
peninjauan kembali Crown Capital Global Limited untuk kembali
memailitkan PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI).
B. Analisa
-
- Tinjauan Syarat Pengajuan Permohonan Kepailitan
Berdasarkan bunyi Pasal 2 ayat 1, yang menyatakan bahwa “debitor yang
mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya
satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit
dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas
permohonan satu atau lebih kreditornya”. Berdasarkan ketentuan pasal
tersebut di atas, maka syarat-syarat yuridis agar suatu perusahaan dapat
dinyatakan pailit adalah sebagai
- Adanya utang;
- Minimal satu utang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih;
- Adanya Kreditur lebih dari satu;
- Pernyataan pailit dilakukan oleh pengadilan khusus yang disebut dengan “Pengadilan Niaga”
- Syarat-syarat yuridis lainnya yang disebutkan dalam Undang Undang Kepailitan.
Bunyi Pasal 2 ayat (1) tersebut bersifat kumulatif, yang artinya
syarat-syarat debitor untuk dapat dinyatakan pailit harus memenuhi semua
unsur di atas. Apabila syarat-syarat terpenuhi, hakim ”harus menyatakan
pailit”, bukan “dapat menyatakan pailit”, sehingga dalam hal ini kepada
hakim tidak diberikan ruang untuk memberikan “
judgement” yang luas seperti pada perkara lainnya.
Penulis akan menganalisa kepailitan TPI terutama mengenai terpenuhi
atau tidaknya persyaratan yang tercantum dalam pasal 2 ayat (1) UUK 2004
sekaligus pasal 8 ayat (4) mengenai asas pembuktian sederhana. Adapun
uraian dari unsur-unsur pasal 2 ayat (1) adalah sebagai berikut:
a) Minimal ada 2 kreditur atau lebih.
Dalam pasal 1 bitir 2 UUK 2004, kreditur adalah orang yang mempunyai
piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih dimuka
pengadilan. Dalam kasus kepailitan TPI, permohonan pailit diajukan oleh
Crown Capital Global Limited yang diwakili oleh kuasa hukumnya Ibrahim
Senen. Untuk terpenuhinya unsur-unsur pasal 2 (1) UU
No.37/2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU),
pemohon juga menyertakan kreditur lainnya yakni Asian Venture Finance
Limited.
Dengan demikian uraian tersebut diatas jelas terlihat bahwa syarat
adanya minimal dua kreditur atau lebih telah terpenuhi. Namun setelah
proses perkara berjalan penulis menemukan data mengenai adanya
kekeliruan yang dilakukan oleh majelis hakim Pengadilan Niaga yaitu
ketentuan yang mengharuskan jumlah kreditur yang mengajukan pailit
haruslah lebih dari dua. Tapi, ada kejanggalan, hanya ada satu kreditur,
PT Crown Capital Global Limited (CCGL). Sementara, kreditur lain yang
disebutkan yakni Asian Venture Finance Limited, dinilai perusahaan
‘buatan’ atau fiktif, yang tidak bisa dimasukan dalam kategori kreditur.
Asian Venture Limited (AVL) yang jelas-jelas tidak lagi memiliki
tagihan kepada TPI, tetapi tetap saja diterima oleh majelis hakim di
Pengadilan Niaga yang dipimpin oleh Maryana sebagai salah satu kreditor.
Intinya, perusahaan yang mengajukan pailit itu cuma ada satu.
b) Adanya utang yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih.
Berdasarkan UUK 2004 Pasal 1 angka 6, Utang adalah kewajiban yang
dinyatakan) atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang
Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan
timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian
atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak
dipenuhi memberi hak kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari
harta kekayaan Debitor. Utang merupakan kewajiban yang harus dilakukan
atau dibayarkan oleh pihak lain, dimana kewajiban dapat lahir dari
Undang-undang dan perjanjian (pasal 1233 KUHPerdata). Jadi pada dasarnya
utang berarti dapat timbul dari undang-undnag maupun perjanjian.
Kemudian jika dikaitkan dengan kasus kepailitan TPI, Crown Capital
Global Limited (CCGL) yang berdiri di British Virgin Island yang mengaku
memiliki
subordinated bond (surat utang) senilai 53 juta
dollar AS dan Asian Venture Finance Limited (AVFL) yang berdiri di
British Virgin Island yang mengaku memiliki piutang ke TPI sebesar
10.350.000 dollar AS. Kewajiban
Subordinated Bonds sebesar USD
53 juta tersebut telah jatuh tempo dan dapat ditagih di luar bunga,
denda, dan biaya lainnya. PT Crown menjadi kreditur TPI karena telah
membeli surat utang tersebut dari pemegang sebelumnya, yakni PT Fillago
Limited pada tahun 2004. Karena sudah mengantongi hak tagih itu,
seharusnya TPI membayar utangnya, sejak jatuh tempo berakhir. Surat
utang yang diterbitkan pada tahun 1996 dengan masa berlaku 10 tahun
sehingga sudah jatuh tempo pada 24 Desember 2006, namun tidak kunjung
dibayarkan. Dan juga utang kepada kreditur lain yaitu Asian Venture
Finance Limited dengan tagihan US$10,325 juta, di luar bunga, denda, dan
biaya lainnya.
Setelah hasil penyelidikan TPI menemukan bahwa CCGL memperoleh
sub bond
tersebut dari Filago pada Tahun 2004, yang berdiri di British Virgin
Island namun menggunakan alamat di Wijaya Graha Puri Blok A No. 3-4
Jalan Wijaya 2 Jakarta Selatan. Filago Ltd. Memperoleh
sub bond
tersebut dari Benmall Ltd. yang didirikan di British Virgin Island yang
ternyata sudah dilikuidasi tahun 1998. TPI menemukan bahwa AVFL telah
menjual tagihannya ke PT. Khatulistiwa Prima Citra dengan harga 1 dollar
AS pada tahun 2003. Dengan demikian, seluruh klaim tagihan CCCGL dan
AVFL kepada TPI adalah tidak sah.
Utang terhadap PT Crown Diketahui bahwa
dokumen-dokumen Sub Bond yang sudah dilunasi oleh TPI diperjualbelikan
dari Filago Ltd kepada CCGL pada 27 Desember 2004. Ini menandakan bahwa
dokumen asli Sub Bonds yang diambil oleh pemilik lama diperjualbelikan.
Transaksi jual beli Sub Bonds antara Filago Ltd dengan CCGL hanya
menggunakan promissory note sehingga tidak ada proses pembayaran.
Belakangan diketahui bahwa Filago adalah perusahaan yang beralamat di
Wijaya Graha Puri Blok A No 3-4, Jalan Wijaya 2 Jakarta Selatan, yang
juga merupakan kantor dari salah satu pemilik lama. Semua transaksi
pengalihan Sub Bond tidak pernah diketahui dan dilaporkan ke TPI. Dengan
demikian bisa disimpulkan bahwa transaksi tersebut adalah ilegal.
Berdasarkan
RUPS TPI tanggal 21 Juli 2006, PT Media Nusantara Citra (MNC) menjadi
pemegang saham TPI sebesar 75 persen. Dalam laporan keuangan TPI tidak
pernah tercatat utang dalam bentuk Sub Bonds senilai USD53 juta.
Berdasarkan data dan informasi yang diperoleh, CCGL tidak mempunyai
legal standing
yang jelas karena CCGL sebagai penggugat pailit tidak jelas pemiliknya
dan hanya memiliki modal sebesar USD. 50.000 sehingga sangat tidak
mungkin perusahaan yang tidak jelas bidang usahanya mampu mempunyai
piutang sebesar USD. 53.000.000. Domisili perusahaan tersebut adalah di
British Virgin Island, tapi menumpang alamat di Camelot Trust Pte. Ltd.,
di 14 Ann Siang Rd Unit 02-01 Singapore dan semua pengurus perusahaan
tersebut adalah nominee.
Selanjutnya dasar penerimaan kasus ini oleh Pengadilan Negeri
terletak pada didasarkan pada asumsi majelis hakim bahwa TPI tidak bisa
memenuhi kewajiban membayar utang obligasi jangka panjang (
sub ordinated bond)
senilai USD53 juta kepada Crown Capital Global Limited (CCGL). Padahal,
kata Marx, pengacara PT TPI, bukti-bukti yang diajukan penggugat untuk
mempailitkan TPI tidak berdasar dan penuh rekayasa. Sementara di lain
pihak, CCGL menduga ada rekayasa laporan keuangan PT TPI mengenai hak
tagih USD 53 juta, di mana uang sebesar itu adalah milik Santoro
Corporation yang terafiliasi dengan PT Media Nusantara Citra (MNC).
- Pembuktian Sederhana
Dalam penyelesaian suatu kasus kepailitan, dianut suatu asas
pembuktian sederhana. Menurut penulis, hal tersebut sejalan dengan
tujuan dari hukum kepailitan yaitu untuk kepentinagn dunia usaha dalam
menyelesaikan masalah utang-piutang secara adil, cepat, terbuka dan
efektif. Dengan dianutnya asas pembuktian sederhana seyogyanya salah
satu tujuan dari hukum kepailitan yaitu ”cepat” dapat tercapai.
Kecepatan dalam menyelesaikan suatu kasus kepailitan sangat penting,
mengingat adanya pembatasan waktu pengucapan putusan Pengadilan maksimal
60 hari sejak tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan.
Asas pembuktian sederhana terpenuhi apabila dalam suatu permohonan
pernyataan pailit terdapat fakta atau keadaan yang secara terbkti secara
sederhana bahwa prasyarat pernyataan pailit dalam pasal 2 ayat (1) UUK
2004 dapat terpenuhi. Jadi dapat disimpulkan, untuk memutus suatu
permohonan pernyataan pailit tidak hanya harus memenuhi prasyarat
pernyataan pailit dalam pasal 2 ayat (1) UUK 2004, akan tetapi harus
pula terpenuhi asas pembuktian sederhana dalam pasal 8 ayat (4) UUK
2004.
Sebagaimana telah diuraikan pada penjelasan sebelumnya, permohonan
pailit TPI berdasarkan keputusan pengadilan Negeri yang diajukan oleh
Pemohon secara sederhana teleh terpenuhi dalam pasal 2 ayat (1).
Termohon mempunyai kreditur lebih dari satu yaitu Crown Capital Global
Limited dan Asian Venture Finance Limited.
Termohon tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh
tempo dan dapat ditagih kepada Crown Capital Global Limited (CCGL) yang
berdiri di British Virgin Island yang mengaku memiliki
subordinated bond
(surat utang) senilai 53 juta dollar AS dan Asian Venture Finance
Limited (AVFL) yang berdiri di British Virgin Island yang mengaku
memiliki piutang ke TPI sebesar 10.350.000 dollar AS.
Menurut Pengadilan Niaga, tuduhan kepailitan dikabulkan dengan alasan
didasarkan pada asumsi majelis hakim bahwa TPI tidak bisa memenuhi
kewajiban membayar utang obligasi jangka panjang (
sub ordinated bond) senilai USD53 juta kepada Crown Capital Global Limited (CCGL). Sementara dalam kenyataannya yang terjadi adalah :
- Pada 1996, TPI yang masih dipegang Presiden Direktur Siti Hardiyanti
Rukmana alias Mbak Tutut mengeluarkan sub ordinated bond (Sub Bond)
sebesar USD53 juta. Utang dalam bentuk sub ordinated bond tersebut.
- Di buat sebagai rekayasa untuk mengelabuhi publik atas pinjaman dari
BIA. Marx menjelaskan, rekayasa terjadi karena ditemukan fakta bahwa
uang dari Peregrine Fixed Income Ltd masuk ke rekening TPI pada 26
Desember 1996. Namun, selang sehari tepatnya 27 Desember 1996, uang
tersebut langsung ditransfer kembali ke rekening Peregrine Fixed Income
Ltd. Setelah utang-utang itu dilunasi oleh manajemen baru TPI, dokumen-
dokumen asli Sub Bond masih disimpan pemilik lama yang kemudian diduga
diambil secara tidak sah oleh Shadik Wahono (yang saat ini menjabat
sebagai Direktur Utama PT Cipta Marga Nusaphala Persada)
- Terjadi transaksi Sub Bond antara Filago Ltd dengan CCGL dengan
menggunakan promissory note (surat perjanjian utang) sehingga tidak ada
proses pembayaran. Semua transaksi pengalihan Sub Bond berada di luar
kendali TPI setelah Sub Bond berpindah tangan, sehingga apabila CCGL
menagih hutang dari Sub Bond, jelas-jelas illegal.
Melihat laporan CCGL, pihak Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat mengabulkan permohonan tuntutan dari CCGL untuk
memailitkan TPI pada 14 Oktober 2009. Pihak kuasa hukum PT TPI mencoba
memberi klarifikasi yang sejujurnya disertai dengan bukt-bukti otentik
melalui segala macam transaksi yangtercatat di buku ATM Bank BNI 46 yang
menjadi ATM basis bagi perusahaan TPI. Dikatakan Marx Andriyan, bahwa
pada tahun 1993 telah ditandatangani Perjanjian yang piutang antara TPI
dengan Brunei Investment Agency (BIA) sebesar USD50 juta. Atas instruki
pemilik lama, dana dari BIA tidak ditransfer ke rekening TPI tapi ke
rekening pribadi pemilik lama, utaang piutang antara TPI dengan Brunei
Investment Agency (BIA) sebesar USD50
juta.Atas instruki pemilik lama, dana dari BIA tidak ditransfer ke rekening TPI tapi ke rekening pribadi pemilik lama.
Dalam laporan keuangan TPI juga tidak pernah tercatat utang TPI dalam
bentuk Sub Bond senilai USD53 juta. Berdasarkan hasil audit laporan
keuangan TPI yang dilakukan kantor akuntan publik dipastikan bahwa di
dalam neraca TPI 2007 dan 2008 juga tidak tercatat adanya kreditur
maupun tagihan dari CCGL. Seharusnya utang-hutang obligasi jangka
panjang tercatat di dalam pembukuan. Bahkan,kata Marx, pada 2007, MNC
sebagai pemilik saham 75 persen di TPI mencatatkan diri sebagai
perusahaan terbuka (PT MNC Tbk).
Merasa tidak bersalah, PT TPI kemudian meminta peninjauan ulang atas
masalah ini. Sesuai prosedur, TPI membawa masalah ini ke tingkat
Mahkamah Agung (MA). Setelah melakukan tahap verifikasi (Pencocokan
piutang), ditemukan banyak kekeliruan yang dilakukan oleh Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat, yaitu Maryana selaku ketua majelis hakim dengan
dua anggotanya, Sugeng Riyono dan Syarifuddin. Beberapa kekeliruan yang
dilakukan oleh majelis hakim terdahulu :
- ketentuan yang mengharuskan jumlah kreditur yang mengajukan pailit
haruslah lebih dari dua. Tapi, dalam masalah ini, hanya ada satu
kreditur, PT Crown Capital Global Limited (CCGL). Sementara, kreditur
lain yang disebutkan yakni Asian Venture Finance Limited, dinilai
perusahaan ‘buatan’ atau fiktif, yang tidak bisa dimasukan dalam
kategori kreditur. Intinya, perusahaan yang mengajukan pailit itu cuma
ada satu,
- menjelaskan jika transaksi yang dilakukan atas obligasi jangka
panjang (sub ordinated bond) senilai USD53 juta tersebut bukanlah
transaksi yang sederhana. Sedangkan dalam peraturan tentang kepailitan
jelas diungkapkan bahwa transaksi yang dapat diajukan pailit adalah
transaksi yang sederhana.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, maka TPI menganggap bahwa
putusan PN Niaga Jakpus sangat tidak berdasar dan merasa sangat
dirugikan oleh perusahaan kecil yang domisili hukum dan alamatnya tidak
jelas. Hal ini sangat menganggu kelangsungan hidup perusahaan (
going concern)
dan menimbulkan keresahan di kalangan karyawan serta pihak ketiga yang
mempunyai hubungan kerja dengan TPI dan pada akhirnya dapat menganggu
pelayanan TPI kepada masyarakat melalui siarannya.
TPI akhirnya melakukan kasasi untuk permohonan peninjauan kembali
kasus tersebut kepada Mahkamah Agung. Dari kasus tersebut, diperlihatkan
bagaimana proses peradilan Indonesia berjalan. Setelah proses
verifikasi oleh Mahkamah Agung, kesalahan-kesalahan yang belum
teridentifikasi oleh Pengadilan Niaga mulai Nampak. Sedikit demi sedikit
bukti pembayaran tagihan utang oleh TPI dimunculkan dalam setiap
persidangan kasasi. Dalam laporan keuangan tersebut dikatakan, bahwa
surat utang (obligasi) milik TPI sebesar US$53 juta yang jatuh tempo
pada tanggal 24 Desember 2006 telah berhasil dibayar. Lagipula, ada
masalah lain yang lebih kompleks tentang keberadaan surat-surat utang
itu. Dengan meninjau kekeliruan-kekeliruan tersebut, akhirnya Mahkamah
Agung memutus kasus tersebut dan menyatakan bahwa TPI tidak pailit.
Karena dalam hukum nasional, kedudukan Mahkamah Agung adalah kedudukan
tertinggi, maka keputusan ini tidak dapat diganggu gugat dan PT TPI
resmi tidak pailit.
Dapat disimpulkan terdapat kekeliruan hakim pengadilan Niaga dalam
memutus kasus pailit TPI adalah menjelaskan jika transaksi yang
dilakukan atas obligasi jangka panjang (
sub ordinated bond)
senilai USD53 juta tersebut bukanlah transaksi yang sederhana. Sedangkan
dalam peraturan tentang kepailitan jelas diungkapkan bahwa transaksi
yang dapat diajukan pailit adalah transaksi yang sederhana. Namun dapat
di anulir oleh Mahkamah Agung dalam upaya Hukum kasasi, dimana Majelis
hakim Memutus TPI tidak jadi dipailitkan karena pembuktiannya tidak
sedehana terapi sangat rumit dan kompleks.
- Putusan pailit dan akibatnya
Pernyataan pailit seorang debitur oleh Hakim Pengadilan Niaga dengan suatu putusan (vonis), tidak dengan suatu ketetapan (
beschikking). TPI diputus pailit oleh Majelis hakim Pengadilan Niaga jakarta Pusat tanggal
14 Oktober 2009 yang dipimpin oleh Maryana selaku ketua majelis hakim dengan dua anggotanya, Sugeng Riyono dan Syarifuddin.
Dengan dipailitnya Termohon pada tingkat pengadilan niaga, maka
sesuai dengan pasal 15 ayat 1 UUK 2004, harus diangkat Kurator dan
seorang hakim Pengawas. Dalam perkara pailit TPI diangkat Kurator
Safitri Hariani, William Edward Daniel, dan asistennya melalui
permohonan ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat cq. hakim pengawas Nani
Indrawati. Berdasarkan Pasal 16 UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU KPKPU) Kurator
berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta
pailit sejak tanggal putusan pailit meskipun putusan tersebut diajukan
kasasi atau peninjauan kembali.
Kemudian TPI mengajukan permohonan Kasasi kepada MA. Dalam putusan No. 834 K/
Pdt.Sus/2009,
majelis kasasi menyatakan pembuktian kasus pailit TPI tidak sederhana
lantaran eksistensi adanya utang masih dalam konflik. Bahkan tentang
sejauhmana keberadaan utang masih diperkarakan di Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat dalam perkara No. 376/Pdt.G/2009/
PN.JKT.PST.
Proses pidana terhadap penguasaan asli surat obligasi juga masih
berjalan. Atas dasar itu, majelis kasasi menyatakan perkara pailit TPI
sifatnya kompleks dan tidak sederhana. Pembuktian perkara ini cukup
rumit dan sulit sehingga memerlukan ketelitian dan pembuktian yang tidak
sederhana pula.
Berdasarkan permohonan tersebut, tim kurator meminta pengadilan untuk
menetapkan biaya kepailitan perusahaan itu yang menurut perhitungan
mencapai Rp537,479 juta, serta imbalan jasa kurator dan asistennya yang
totalnya mencapai Rp3,743 miliar. Permohonan penetapan ini diajukan
karena kepailitan TPI telah berakhir setelah pernyataan pailit atas TPI
ditolak di tingkat kasasi. Kurator telah menerima putusan Mahkamah Agung
No.834/Pdt.Sus/ 2009 jo
NO.S2/PAHJT/ 2009/
PN.NIAGA.JKT.PST tanggal 15 Desember 2009.
Akibat putusan Pengadilan Negeri untuk memailitkan PT TPI yang
bekerja di bidang penyiaran, timbullah pro-kontra tersendiri dari sisi :
- PT TPI itu sendiri. Mereka merasa dan memiliki bukti otentik bahwa
hutang USD53 juta itu hanyalah rekayasa CCGL yang ingin merugikan TPI.
Dikatakan bahwa surat berharga dalam rupa Obligasi diterbitkan pada 24
Desember 1996 dan jatuh tempo pada 24 Desember 2006. Tapi hingga tanggal
jatuh tempo, TPI tak kunjung melunasi utang tersebut sehingga Crown pun
mengajukan gugatan pailit. Sementara dalam laporan keuangan TPI,
obligasi itu tidak tercatat karena obligasi sudah pindah tangan.
- Komisi Penyiaran Indonesia. Menurut komisi ini, seharusnya ada
perbedaan perlakuan hukum antara perusahaan media dengan perusahaan
bisnis pada umumnya. Karena apapun yang berkaitan dengan media, selalu
ada hubungannya dengan masyarakat luas yang menjadi pemirsa atau
konsumen itu sendiri. Jangan sampai karena sengketa bisnis, kepentingan
pemirsa terabaikan.
- DPR. Menurut mereka, masalah intern TPI jangan dibiarkan
berlarut-larut. DPR sangat memberi dukungan kepada TPI yang menjadi
saluran informasi, pendidikan, dan hiburan untuk masyarakat luas.
Kepailitan TPI akan berdampak sistemik karena berkaitan dengan tenaga
kerja, saham,dan hilangnya akses informasi.
Beberapa hal yang patut dipertanyakan atas putusan PN Niaga Jakpus
tentang dipailitkannya TPI hari rabu tanggal 14 Oktober 2009 oleh CCGL,
adalah sebagai berikut:
- CCGL terbukti merupakan perusahaan yang tidak memiliki kualifikasi untuk dapat mempailitkan perusahaan sebesar TPI.
- Selama persidangan banyak hal-hal yang membuktikan argumentasi dan
fakta yang siginifikan yang dimiliki TPI diabaikan begitu saja.
- Pemegang sub bond terakhir yaitu CCGL menggunakan sub bond tersebut senilai USD. 53.000.000 untuk mempailitkan TPI.
Tujuh alasan kepailitan TPI harus ditolak selain pembuktiannya tidak sederhana:
- TPI tiap hari telah memproduksi 65 berita, 5 siaran rohani, 85 buah hiburan tiap hari.
- TPI menjadi pelopor pembangunan budaya melayu yang menyumbang dalam
pembentukan karakter budaya nasional. Sumbangan dalam membangun budaya
melayu ini tercermin pada porsi 60 persen disiarkanya musik melayu
maupun kartun melayu.
- TPI telah menerima penghargaan apresiasi dari KPI untuk televisi tahun 2007 kategori feature.
- TPI menerima penghargaan dari Unicef dalam liputan anak dan perempuan tahun 2008.
- TPI menerima Piagam Muri atas program kuis dangdut pada tahun 2002.
- TPI menurut data AC Nelson mencapai 4 juta pemirsa.
- TPI memiliki karyawan berjumlah 1.083 orang.
Kesimpulan
Bahwa kesimpulan mengenai proses hukum hasil penyelesaian kasus
kepailitan PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia adalah TPI tidak jadi
dipailitkan karena laporan dugaan oleh CCGL tidak terbukti benar,
bukti-bukti belum jelas, dan karena pembukuan laporan tahunan yang
tersedia sangat jauh dari kata sederhana, sementara peraturan tentang
kepailitan jelas mengungkapkan bahwa transaksi yang dapat diajukan
pailit adalah transaksi yang sederhana. Apalagi dikatakan juga dari
hasil pengkajian ulang, bahwa hanya ada 1 kreditor yang merasa punya
masalah utang piutang dengan TPI, sementara dalam persyaratan dikatakan
bahwa harus ada lebih dari 1 kreditor yang merasa dirugikan yang boleh
mengajukan kasus ini ke pengadilan.
sumber: https://kohseto.wordpress.com/2011/06/16/materi-analisis-putusan-kasus-kepailitan-kelompok-2/